Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Rabu, 01 Juni 2011

Rabu, 01 Juni 2011

MEMAKNAI KELEMAHAN PERSPEKTIF MANUSIA

Seorang Ustadz, nampak gelisah saat mengetahui isterinya akan melahirkan melalui operasi Cesar. Tak pernah terbayangkan, karena tiga anak pertamanya lahir normal. Kondisi keuangan yang tidak menentu. Gaji 1,5 juta dari mengajar di ma’had sepertinya tak cukup memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara saat ini ia sangat butuh uang dalam jumlah besar, delapan juta. Ustadz memeras otak, memikirkan jalan keluar agar muskilah keuangan bisa segera teratasi. Ustadz adalah orang yang paling menjaga ifah ini tak mau meminta bantuan orang lain kalau ia tidak ‘sangat’ mendesak. Maka kondisi saat ini dinilai suatu yang mendesak. Segera beliau menelpon sebuah lembaga amil zakat yang dikelolah oleh teman dekat Ustadz. “Maaf Ustadz, antum kan orang mampu. Jadi kami tidak bisa memberikan bantuan ke antum. Afwan!”. Jawaban tadi akan menohok dan menjadi cambuk keputusaan bagi mereka yang lemah jiwanya. Tapi tidak bagi Ustadz, beliau kuat. Walau kegundahan masih menyelimuti hatinya. Hasbunallah wani’mal wakil, nikmal maula wa ni’mannasir! Adalah mantra ampuh bagi beliau. Tapi ustadz tetap adalah manusia. Sisi kemanusiaan pastilah kerap muncul dalam sikap maupun ucapan beliau. Berkeluh adalah manusiawi, lebih manusiawi memang jika keluh dan kesah dituturkan kepada Pemberi hidup. Sang pengatur scenario kehidupan seluruh manusia. Maka Ustadzpun merapalkan keluhan, melalui sembulan do’a. Menarik jika kita melihat ungkapan jawaban yang diterima ustadz saat minta tolongnya kepada MANUSIA, “Maaf Ustadz, antum kan orang mampu. Jadi kami tidak bisa memberikan bantuan ke antum. Afwan!”. Mampu atau berkemampuan terkadang manusia salah meniliainya. Ukuran dzohir seringkali dijadikan patokan untuk menilai orang itu mampu atau tidak. Padahal konsep tidak mampu dalam kehidupan kita adalah saat seorang sangat mendesak membutuhkan dan ia tidak berpunya saat itu. Ustadz tadi telah menggambarkan bahwa saat itu ia adalah mutadafin (mereka yang lemah) yang sangat urgen diberikan bantuan. Bolehlah orang melihat tampilan luar, bahwa ustadz tidak nampak sebagai seorang yang lemah. Namun bukankah kelemahan itu tidak harus dinampakkan sebagaimana sering dilakoni oleh orang yang salah mengartikan kelemahan. Ambil missal adalah seorang pengemis yang sebenarnya sudah punya rumah mewah menampilkan kelemahannya dengan berpakaian compang camping dan kumuh. Masa iya Ustadz harus berpakaian seperti itu baru akan ada uluran tangan kita. Bukankah ustadz menjadi sumber ilmu, tempat kita meminta nasehat keagamaan. Tempat kita kembali saat jiwa-jiwa gersang karena ‘rayuan’ dunia kian masif. Apakah mungkin seorang ustadz akan didengar kata-katanya, nasehatnya, fatwanya jika kondisi dzohirnya ditampakan dalam kelemahannya. Walau tampilan luar tak mencerminkan isi dalamnya , Don’t Judge the book by the cover. Mengukur kelemahan dan ketidakmampuan dari tampilan fisik belaka adalah kesalahan besar. Lebih salah lagi ketidakmengertian dan ketakpedulian diturutkan saat mengetahui ada muskilah yang terjadi di sekitar kita. Apalagi masalahnya adalah pada ketidakmampuan, guru, ustadz yang memberikan ruang ilmunya untuk mempertahankan eksistensi dakwah dan tarbiyah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates